Natin Mengharapkan Lebih Dari Sekedar Gaji

From http://www.dadangkadarusman.com

By Dadang Kadarusman ⋅ April 16, 2012 ⋅

Itulah yang sedang terjadi. Bukan hanya di rumah keluarga yang ditinggalkan. Tetapi juga di kubikal. Dan seluruh kantor cabang perusahaan.

Sebagian besar orang di kubikal baru mendapatkan beritanya tadi pagi. Ketika mereka memasuki kantor. Namun ada beberapa orang yang sudah tahu sejak tadi malam. Salah seorang pegawai mengalami kecelakaan lalu lintas ketika pulang kerja. Saking parahnya. Jiwanya nggak tertolong lagi.

Seolah nggak percaya.
Semua orang hanya bisa bengong. Bukan hanya teman-teman dekatnya. Tetapi juga teman yang hanya mengenalnya selintas. Bahkan mereka yang belum mengenalnya. Pagi itu. Semua orang tercenung. Sambil merenungkan; Apakah seseorang harus sampai meninggal ketika sedang berjuang mencari nafkah buat keluarganya?

Pertanyaan yang menggugat.
Tetapi begitulah kenyataannya. Bukan sekali itu saja kejadiannya. Di koran. Sudah berkali-kali peristiwa serupa itu diberitakan. Ada pegawai yang jatuh ketika sedang membersihkan gedung. Ada teknisi yang terkena sengatan listrik saat memperbaiki instalasi. Ada operator yang tergencet mesin penggiling. Ada yang…. Macam-macam.

Kematian juga nggak pilih kasih. Nggak cuma pegawai kecil yang direnggut hidupnya. Pegawai kelas atas pun demikian. Ada direktur yang meninggal di ruang kerjanya. Ada boss besar yang tengah berdinas di luar kota, dan pulang tinggal jasadnya. Ada top eksekutif yang tiba-tiba jatuh di ruang rapat. Lalu pulang ke rumah dengan keranda.

Kematian itu adil.
Tidak memilih. Dan tidak memilah. Semuanya mendapatkan kesempatan yang sama. Tapi kenapa harus orang yang sedang bekerja?

Ada begitu banyak pertanyaan yang memenuhi benak semua orang di kubikal. Untuk sehari itu. Mereka menyadari jika hidup tidak pernah bisa diprediksi kapan berakhirnya. Namun karena kita menghabiskan sekitar setengah dari hidup kita di tempat kerja. Maka peluang untuk mengalaminya pada saat bekerja selalu terbuka.

Ada gundah di hati mereka.
Namun ada penghiburan yang menyertainya. Sebuah kalimat kecil yang dituliskan Natin di whiteboard yang menempel di dinding pantry. Menu hari ini. Begitu seperti biasanya tertulis. ”HARAPKAN LEBIH DARI SEKEDAR GAJI”.

Dengan menu itu Natin seolah hendak mengingatkan orang-orang di kubikal bahwa bekerja itu. Tidak peduli berapapun gajinya. Tetap tidak sepadan dengan resikonya. Jangankan ngomong soal resiko. Soal tenaga. Soal kesal. Soal lelah di hati. Soal ganjalan didada. Soal perasaan tertekan. Semuanya. Sungguh. Gaji yang kita terima itu nggak bakal pernah sepadan. Meski dinaikkin jumlah berkali-kali lipat.

”Gaji kita emang dari dulu kurang besar,” bisik Opri. Seolah mengiyakan menu hari ini itu. Seolah mencemooh juga.

”Di kali sepuluh juga akan tetap kurang, Pri.” begitu sergah Fiancy. ”Jiwa kita masih terlalu berharga untuk dibayar berapapun.” lanjutnya.

”Jadi kita nggak usah kerja aja, kaleeee….” balas Opri. Emosional. Tapi bisa dimaklumi. Tak ada orang yang dengan senang hati menerima kepergian sahabatnya ketika dia sedang menjalankan tugas.

”Bukan begitu,” sela Aiti.
”So?” mulut Opti bulat agak memonyong.
”Bener yang dibilang Natin,” balas Aiti. ”Kita mesti mengharapkan lebih dari sekedar gaji.” katanya.

”Jadi kita demo aja?” lonjaknya. ”Biar top managemen tahu kalau pekerjaan kita semua beresiko?”

”Nggak ada pekerjaan yang nggak beresiko, Pri.” Fiancy menimpali. ”Ini nggak semata-mata soal pekerjaan. Ini soal hidup kita yang sedemikian berharga.”

”Elo sembunyi di rumah juga tetap saja bakal mati juga,” ceplos Sekris.
”Jadi kita ini sebenarnya ngomongin apa-an sih?” Opri makin sewot. ”Ngomongin pekerjaan atau ngomongin soal kematian?”

”Diiih, kok jadinya serem amat sih….” Jeanice merinding. ”Ngomongin yang lain aja yuuuukk…..hhh…”

”Coba elo renungkan menu hari ini yang Natin tulis Jean,” Fiancy berbalik menatap Jeanice. ” Natin mengajak kita untuk mulai ngebenerin niat kita dalam bekerja.” lanjutnya.

Semua teman-teman di kubikal pada bengong.
”Gue rasa, Natin pengen kita kalau kerja nggak cuman mikirin gaji doang.” katanya. ” Natin pengen kita semua kalau kerja itu mengharapkan lebih dari gaji, Galz…”

”Apakah kita bisa berharap lebih dari itu?” tanya Opri.
”Bonus, maksudnya? Kan kita udah dapet?” Jeanice ikut mempertanyakannya.

”Gaji, bonus, tujangan, asuransi, fasilitas, semua sama saja.” jawab Fiancy. ”Semua yang kita dapatkan secara materi dari kantor. Itulah yang dimaksud oleh Natin.”

Matanya Fiancy memandang berkeliling. ” Natin mengajak kita untuk mengharapkan lebih dari sekedar imbalan-imbalan material begitu.” lanjutnya. ”Dia ingin kita semua belajar mengharapkan sesuatu yang… hakiki. Emh… maksud gue… yang benar-benar sepadan dengan resiko dan pengorbanan kita dalam bekerja.”

”IYYA TAPI APPPPAAAAAAA?” semua orang serempak meminta kejelasan.
Fiancy terdiam untuk beberapa saat. Lalu. Dia berkata; ”Gue rasa.” katanya ”Natin ngajak kita untuk meniatkan setiap pekerjaan yang kita lakukan untuk Tuhan.”

Tuhan? Rasanya. Kata itu jarang sekali disebut-sebut disitu. Padahal tidak ada sesuatu pun yang terjadi dengan hidup kita tanpa seizin-Nya. Padahal. Dia Yang Maha Kuasa menjanjikan balasan yang terbaik untuk setiap kebaikan yang kita lakukan. Padahal. Tak ada satu pun tindakan kita yang tidak tercatat. Lalu diperhitungkan-Nya di hari kemudian.

Sungguh berbahagialah. Orang yang mempersembahkan setiap tindakan dan hasil karyanya hari ini. Bagi Tuhannya. Beruntung karena orang itu pasti mendapatkan balasan yang setimpal. Dia sudah mendapatkan gaji atau bonus untuk pekerjaannya itu. Namun lebih dari itu. Dia mendapatkan kebaikan dan pahala yang diharapkannya dari Tuhannya.

Maka harapkanlah balasan yang terbaik kepada Tuhan. Begitu kata Natin. Agar untuk setiap pekerjaan yang kita lakukan. Kita bisa mendapatkan lebih dari sekedar gaji.

Jika kita hanya mengharapkan gaji. Ya cuman gaji itu doang yang kita dapatkan. Tapi jika kita juga berharap Tuhan mencatatkannya sebagai kebaikan. Maka niat kita itu pasti kesampaian.

Orang itu juga beruntung, kalau meniatkan pekerjaannya untuk melayani Tuhan. Karena. Dengan niat yang bernilai tinggi itu. Dia nggak mungkin kerja asal-asalan. Malu dia kalau bertindak demikian. Bukan malu pada teman. Atau pada atasan. Tapi malu pada Tuhan. Masa sih melayani Tuhan asal-asalan. Jadi. Pasti dia bekerja lebih baik di sepanjang hari itu.

Prestasinya pasti bagus. Kualitas kerjanya. Pasti memuaskan. Karena dia malu pada Tuhan jika hanya menghasilkan sesuatu yang berkualitas rendah.

Orang itu juga akan tahan banting. Karena meskipun menghadapi situasi sulit. Diomelin pelanggan yang bawel. Dimarahin atasan yang sok kuasa. Dia percaya. Bahwa dia sedang melayani Tuhan. Jadi. Mengapa pusing dengan gangguan-gangguan kecil seperti itu. Fokus saja pada usahanya melayani Tuhan. Maka dia akan dengan khusyu. Dan khidmat. Dalam menjalani pekerjaannya.

”Can we not to talk about the thing doesn’t exist, please?” suara itu datang dari belakang. ”Gue nggak percaya kalau Tuhan itu ada,” lanjutnya.

Semua orang terperangah. Tetapi hanya sebentar saja. Karena mereka percaya jika keyakinan adalah hak asasi manusia. Nggak ada yang boleh memaksa seseorang yang mengimani ini atau itu. Jadi. Mereka santai aja menyikapinya.

”Nah…, kalau elo nggak percaya Tuhan itu ada,” giliran Opri yang berdiri sekarang. Lalu berjalan menghampirinya. ”Setidaknya elo bisa meniatkan bekerja itu untuk melayani sesama. Oke?” telapak tangan Opri sudah ada di bahunya. Nggak ada pilihan lain bagi orang itu selain mengangguk. ”Hidup elo singkat. Pastikan elo berguna buat orang lain.”

”Anak-anak, dengarkan sebentar. Ada pengumuman penting,” suara Pak Mergy membuyarkan pembicaraan mereka. Semua bersiap untuk mendengarkan pengumuman yang kata Pak Mergy penting itu.

”Pagi ini saya mendapatkan kabar jika tadi malam terjadi kecelakaan lalu lintas. Dan teman kita……” lanjutnya.

”Meninggal dunia kan Pak.” Opri dengan cekatan memotongnya.

”Lho, kok kamu tahu sih?” Pernyataan Opri benar-benar membuat Pak Mergy bengong.

Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..

Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa apapun yang kita dapatkan sebagai imbalan dari pekerjaan yang kita lakukan sungguh tidak sepadan dengan pengorbanan. Dan resiko yang kita hadapi selama bekerja itu. Maka bukan imbalan berupa materi yang bisa mengimbanginya. Melainkan imbalan yang kita harapkan dari Dzat yang maha membalas kebaikan. Tenteram hati mereka setelah mengganti niatnya. Sekarang. Mereka bukan sekedar mengharapkan gaji dan imbalan lainnya. Dalam bekerja. Mereka juga mengharapkan pahala dari sisi Tuhannya.

Catatan Kaki:
Setiap kali mengerjakan tugas-tugas harian kita, harapkanlah kebaikan di dunia dan diakhirat. Agar kita mendapatkan kedua-duanya.

Leave a comment