Natin #46: Jebakan Keberlimpahan

From http://www.dadangkadarusman.com

By Dadang Kadarusman ⋅ June 28, 2012 ⋅

Hari itu keadaan di kantor berjalan normal-normal saja. Setidak-tidaknya dari pagi sampai jam sepuluh lewat lima belas menit. Semua orang masih pada sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka fokus, sehingga pekerjaannya bisa lebih cepat selesai dengan akurat. Kalau nggak fokus, pekerjaan malah jadi semakin lama menyelesaikannya. Bisa sih selesai cepat. Tapi sering ada kesalahan. Jadinya ya mesti diulang lagi. Nah. Urusan mengulang pekerjaan itu yang paling nyebelin. Bisa lebih sulit daripada ngerjain dari awal, loh. Belum lagi kalau sampai dimarahin orang lain karena kesalahan itu. Pokoknya kalau lagi kerja, bagusan fokus deh.

Orang-orang di kubikal juga bukannya nggak mau putus komunikasi dengan teman-teman semuanya. Tapi mereka rela menunda keinginan itu demi kelancaran pekerjaan Kan mereka berada disitu karena perusahaan sudah baik hati memberi kesempatan. Kalau nggak? Mana bisa mereka bertengger di kubikal? Pastinya mereka nggak bakal dibolehin masuk, kan? Kayaknya nggak pantes banget kalau kita membalas kebaikan perusahaan dengan kerja asal-asalan. Bukan asal-asalan sih, tapi konsentrasi terdistraksi oleh kecanggihan gadget komunikasi.

Bayangin aja. Itu gadget nggak pernah berhenti berbunyi. Kalau diikutin terus pastinya udah merusak semua hal. Hidup kita jadi terkooptasi oleh benda kecil yang bawelnya melebihi mak lampir itu. Pengaruhnya juga lebih kuat daripada nenek sihir. Setiap bunyinya bagaikan mantra yang menyebabkan pemiliknya terhipnotis. Begitu ada bunyi ’durirang’ dia langsung berhenti dari aktivitas apapun. Gatel kalau nggak langsung membanca pesan-pesan yang datang meski sama sekali nggak penting sekalipun.

Sejak selalu diingatkan oleh Natin, keadaan di kubikal jauh lebih baik dari sebelumnya. Boleh dibilang nggak ada lagi yang mainin gadget komunikasi itu di jam kerja. Soal ini emang mesti kompakan. Kalau ada satu orang aja yang ngaco, bisa bahaya. Semua orang kan bukan malaikat. Kalau digoda oleh suara durirang dari ping seseorang pasti konsentrasinya buyar. Jika itu tidak penting-penting amat, nggak usah mainin gadget selama jam kerja. Nanti aja disaat istirahat.

Selain itu, hari ini semua orang di kubikal punya agenda yang sangat penting. Yaitu meminta penjelasan Opri soal kejadian di sofa lobby kemarin. Bagaimanapun juga Opri wajib memberikan klarifikasi soal hubungannya dengan Voldy. Bukan apa-apa sih. Tapi kan selama ini mereka kelihatannya sama sekali nggak ada kecocokan. Apa lagi Opri yang diragukan kalau dia memiliki hormone estrogen. Soal kepergok kemarin itu, semua orang di kubikal akan bersidang setelah semua pekerjaan mereka selesaikan.

Makanya, sekarang semuanya pada fokus biar bisa menyelesaikan pekerjaan secepatnya dan seakuratnya. Jangan sampai pas sidang nanti ada interupsi karena ada pekerjaan yang mesti di perbaiki. Ketika setiap orang sedang tenggelam dalam kesibukannya masing-masing itu, tiba-tiba saja ‘pet!’. Listrik mati.

Tahu nggak sih, baru sekali itu listrik mati di kubikal. Baru sekali itu juga orang-orang mengalami seperti apa gelap berada didalam sebuah gedung perkantoran bertingkat yang nggak pake listrik. Meskipun itu siang hari bolong, tapi keadaannya seperti di tengah hutan belantara dibawah langit kelam tanpa bintang. Telunjuk sendiri pun nggak kelihatan.

Kalau di ruang bos-bos dan para manager sih masih mending. Soalnya ada cahaya matahari yang menerobos lewat jendela kaca. Secara kubikal kan berada di bagian tengah. Makanya nggak ada seberkas cahaya pun yang bisa lolos sampai kesitu. Cuman ada suara-suara sofran yang panik aja yang bisa kedengaran. Teriaknya macam-macam. Ada yang mengomeli PLN. Ada juga yang terpaksa menempel ditembok sambil menahan nafas dengan butiran-butiran keringat berjatuhan soalnya ketika listrik mati dia sedang berada dalam perjalanan menuju ke toilet.

“Tenang, tenang….” Sebuah suara terdengar nyaring. Semua orang juga tahu kalau itu Opri. “Jangan panik,” katanya. “Sebentar lagi genset dihidupkan kok….”

“Yaaa… kirain elo mau melakukan confession, Pri…” balas seseorang. Pasti Aiti.
“Apaa-an sih?” hardik Opri. Dia berpura-pura tidak mengerti.
“Eh, elo jangan kira bisa bebas begitu aja ya…?” Aiti nggak kalah gertak.

“Iiih… sudah dong kalian jangan ribut aja…haduuh gimana nih… mana sih kok gensetnya nggak nyala-nyala…..” Suara Jeanice terasa gemetar. Dia paling takut sama gelap. Nggak sampai fobi sih, ngakunya. Cuman nggak nyaman aja kalau berada di lingkungan yang sama sekali nggak ada cahayanya. Kalau tiba-tiba ada hantu gimana? Kalau ada kecoa yang merayap gimana? Kalau ada paku keinjek gimana. Dia terus nyerocos nggak jelas gitu. Biar pun begitu dia tetap nggak merasa kalau dirinya itu terkena nyctophobia.

“Tenang aja Jean, bentar lagi gensetnya pasti nyala..” Opri menghiburnya. Tapi mau gimana lagi, mereka nggak bisa saling mendekat karena sama sekali nggak bisa ngelihat apapun. Kalau bergerak juga malah beresiko kejedot meja atau benda-benda lainnya.

Mereka sudah hampir sepuluh menit menunggu. Tapi tidak ada tanda-tanda listrik akan menyala. Sekarang kegelisahan mereka semikin menjadi-jadi.

“Cari Natin dong… siapa tahu dia menyimpan senter atau apa kek….” Teriak Fiancy.
“Dia juga sama nggak bisa ngeliat apa-apa Fi…” balas Aiti.
“Setidaknya kan bisa dicoba dulu Ti, emangnya elo mau nunggu sampai kapan?” sengit Fiancy.
“Lha terus yang mau nyari Natin siapa?” tukas Aiti. “Boro-boro nyari orang lain. Telunjuk elo sendiri aja kan nggak keliatan Fi…”

“Haah, susah amat sih. NAAAATIIIIIIIIN!” suara Fiancy langsung menggema di seluruh pojok kubikal.

Nggak ada jawaban.
Fiancy sekali lagi berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Tapi. Juga nggak ada jawaban. Hening sesaat. Dan seterusnya.

“Mungkin elo mesti memanggilnya dengan mesra kali Fi…” sindir Aiti. Sedari tadi dia sudah mengingatkan kalau itu nggak akan ada artinya.
“Maksud elo apa?” hardik Fiancy.

Untuk sesaat kemudian, suasana senyap di kubikal tergantikan oleh percekcokan kedua cewek yang saling menyindir itu. Maklum, kedua cewek itu dicurigai sama-sama punya hati sama Natin. Tapi nggak ada yang berani mengakui. Atau, mungkin juga mereka masih ragu apakah Natin bisa membuat masa depan mereka serba berkecukupan. Meskipun bijaksana dan banyak ilmu, tapi kalau profesinya hanya jadi office boy; kan mereka juga mikirin gimana kebutuhan hidup mereka kelak akan tercukupi. Atau…, mungkin mereka menunggu Natin yang duluan nembak. Masalahnya. Natin bakal nembak siapa?

Buat Jeanice keributan itu menjadi hiburan yang berguna sekali. Dia jadi yakin kalau dirinya tidak sendirian diruang gelap itu. Hatinya merasa tenteram setiap kali ada suara atau tanda-tanda keberadaan orang lain disekitarnya. Jadi, meskipun geli mendengarkan keributan yang ditimbulkan oleh kedua cewek itu, dia sama sekali nggak berminat untuk menghentikannya. Dia malah berharap keributan itu terus berlangsung sampai listrik menyala lagi.

“Ada yang punya lilin nggak?” Suara Sekris terdengar menyeruak ditengah keributan itu.
“Elo jangan ngomong yang nggak-nggak ya Kris!” Fiancy dan Aiti langsung membentaknya. Kayaknya suara Sekris mengganggu perdebatan seru mereka soal Natin.

“Lagian Sekris, lagi gelap-gelap gini kok yang dicari lilin sih…” celetuk Mrs. X. “Nggak enak pake lilin, lagi.. hihi….” Cekikiknya.
“Hush! Kamu itu ya X!,” Mbak Aster menimpali. “Jangan ngomongin yang tujuh belas tahun keatas sama mereka dong X…” tambahnya. “Mereka kan belum tahu kalau gelap-gelap itu enaknya ngapain…hihi….”

Kebayang ya. Kalau kita nggak punya matahari. Pasti hidup kita selamanya gelap kayak gini. Dalam keadaan gelap itu ternyata bukan cuman nggak bisa ngelihat. Tapi kita bener-bener nggak bisa melakukan apapun. Bahkan untuk sekedar mikirpun otak jadi seperti kehilangan tenaga gitu. Orang juga bereaksi macam-macam dalam kegelapan. Ada yang panik. Ada yang uring-uringan. Ada yang pikirannya jorok. Mungkin ada juga yang mencuri-curi kesempatan.

Sudah hampir dua puluh menit. Mereka masih mematung disitu.
Dan listrik masih juga padam. Rasanya sudah seperti setahun direndam dalam kelam.
“Pada kemana sih ini orang-orang? Kok nggak ada yang mau nolong?” protes Sekris. Nggak jelas kepada siapa protes itu ditujukan.

Tapi emang aneh juga sih. Biasanya pihak gedung memberi pengumuman. Kalau genset akan segera dihidupkan. Atau setidaknya ada pengarahan mesti ngapain. Ini nggak ada sama sekali. Apakah semua orang dibuat nggak berdaya kali ya? Atau… jangan-jangan, hanya mereka yang masih selamat….? Atau… jangan-jangan mereka tidak sadar jika sebenarnya dunia sudah berakhir. Kalau terjadi kiamat? Kan bisa aja. Iya ya… jangan-jangan ini kiamat. Oh, betapa ruginya orang-orang yang belum sempat kawin.

Mbak Aster pun meneruskan cekikikannya bersama Mrs. X. Sementara penghuni kubikal lainnya masih sibut dengan perdebatan mereka masing-masing. Terasa sekali jika ada jurang yang lebar diantara kedua generasi itu.

Dalam keadaan yang serba mencekam dan konyol itu, tiba-tiba gadget Jeanice berbunyi nyaring. Oh, akhirnya terhubungn juga dengan dunia luar!

Mereka semua gembira bukan kepalang. Bukan soal ada sambungan teleponnya. Tapi sekarang mereka bisa melihat seberkas cahaya. Nyala dari hand phone Jeanice terlihat begitu terangnya sehingga semua benda yang ada di mejanya bisa kelihatan jelas sekali. Iyya ya. Kenapa dari tadi nggak kepikiran untuk mengaktifkan hand phone. Kan dari layar monitornya bisa mengeluarkan cahaya untuk memandu mereka mencari jalan keluar. Dasar otak beku!

Jeanice segera meraih gadgetnya. Dari nomor yang tidak dikenal.
Tapi peduli amat deh. Angkat aja. Siapa tahu dari team penyelamat atau petugas penanggulangan bencana.

“Haloh…” Jeanice segera menyapa. Tapi dia terlambat. Sambungan itu keburu putus.
Meski begitu, tak seorang pun yang merasa kecewa. Penelepon itu seolah telah mengirimkan solusi yang tepat guna. Semua orang di kubikal meraih gadgetnya masing-masing. Lalu mereka menyalakannya.

Tanpa di komando. Sambil mengaktifkan gadget itu mereka berjalan perlahan. Lalu berkumpul di lorong kubikal yang agak luas. Kemudian mereka saling berpegangan tangan.

“Semua sudah pada kumpul disini ya?” Tanya Opri.
“Sudah!” setiap orang menyahut dengan nyaring.
“Oke kalau gitu, listen up galz…!” teriak Opri lagi. Maklum. Dia satu-satunya yang pernah ikutan klub pecinta alam. Jadi naluri survivalnya boleh dibilang paling menonjol. Dia bersiap-siap untuk memberikan penjelasan tentang exit strateginya. Namun sebelum dia sempat berbicara tiba-tiba ada yang menyahut dari pojok ruangan. Suaranya seperti orang yang dicocok hidung. Rada bindeng.

“Saaahaayaaa…masih berada disiiihiniiiii hiiii…. hihihihi…. “ katanya.
Kontan aja semua orang pada menjerit-jerit. Handphone yang mereka pegang pada berjatuhan karena tangan mereka terlalu sibuk untuk saling bepelukan….

“Hahaha… elo pada takut ya hahahaha…..” Orang yang bikin suara serem tadi tertawa terbahak-bahak.

S14L4N!
“VOLLDYYYYY!!!!!!!” semua orang kesal alang kepalang. Jantung mereka nyaris copot karena ulah cowok ngaco itu.

“Hahaha… kena elo pade ya…!” Voldy tertawa makin terbahak.
“Jangan gitu dong, Vold….” Kata Opri. Suaranya terdengar tegas tapi lembut.
Aneh sekali. Voldy langsung menurut. “O… I – iyya… maafin gue ya….” Katanya.

Semua orang di kubikal pada termangu. Apakah yang sedang terjadi di dunia ini?
“Gara-gara cowok elo tuch Pri, kita semua kehilangan sumber cahaya,” maki Aiti.

“Heh, jangan sembarangan nuduh ya Ti…” Opri kembali menunjukkan kegarangannya.
“Gue nggak nuduh. Emang kenyataannya gitu kok,” Aiti nggak mau kalah.
“Maksud elo kenyataan apa?” Desak Opri.
“Terserah elo deh!” cuek Aiti.
“Gue nggak terima ya kalau alo nuduh gue pacaran sama Voldy…” Opri sewot.
“Loooh… siapa yang nuduh elo pacaran sama Voldy…..?” Semua orang di kubikal menimpali. “Elo aja yang merasa kali, Pri…..”

Oh… Kalau saja lampu menyala, pasti kelihatan banget wajah Opri yang memerah. Dia sudah keceplosan sendiri. “Engh… m-maksud gue….”

“Aiti kan bilang kalau gara-gara dia tuch HP kita pada jatuh. Jadinya kita nggak bisa ngeliat apa-apa lagi!”

Sebenarnya bukan masalah bagi Opri untuk berdebat dengan semua orang diseluruh dunia. Tapi, tadi dia terlanjur mengucapkan kata-kata yang menempatkan posisinya jadi serba salah. Makanya dia nggak memperpanjang perdebatan itu. Malah berusaha untuk mengalihkan perhatian. “Enggh… k-kita… cari gadgetnya lagi deh ya.. please….”

Semua orang meraba-raba lantai kubikal. Siapa tahu beruntung bisa menemukan gadget itu ditengah kegelapan yang nggak ada tanda-tanda bakal berakhir. Namun sia-sia saja. Tak seorang pun berhasil menemukan satu-satunya harapan sumber cahaya itu. Sekarang mereka hanya bisa pasrah aja. Sambil duduk melingkar diatas lantai yang sama sekali tidak kelihatan itu.

“Stay together, oke…” kata Jeanice. Antara menghibur orang lain, dan mencari ketentraman bagi dirinya sendiri.

Masuk akal. Dalam keadaan seperti itu mendingan diam bersama sambil menunggu pertolongan. Ternyata, kebersamaan itu memang menentramkan hati. Saat bisa saling berpegangan itu, mereka tidak lagi takut pada apapun. Mereka malah bisa merasakan kedekatan satu sama lain.

Ketika tengah berada dalam pasrah itu, tiba-tiba Aiti mendengar nada bunyi ping gadgetnya. Sekris juga mendengar bunyi unik dari gadgetnya. Ternyata gadget semua orang mendapatkan pesan masuk. Gila. Rupanya gadget yang dicari-cari itu malah bertumpuk ditengah-tengah lingkaran mereka. Ketika ada pesan masuk secara bersamaan nyalanya menjadi seperti api unggun di bumi perkemahan.

Mereka pun segera berhamburan meraih api unggun itu. Takut kalau-kalau keburu mati lagi sehingga mereka bisa kehilangan jejak untuk mencarinya. Ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Mungkin petugas penyelamat yang tadi berusaha menelepon Jeanice. Karena keadaan tidak membaik, maka petugas itu mengirimkan pesan kepada semua nomor telepon yang terdaftar. Mereka buru-buru membuka pesan itu. Sambil berharap ada penjelasan bagaimana menemukan jalan keluar yang aman. Kemudian mereka membaca pesan ini di layar monitor gadgetnya masing-masing:

DITENGAH-TENGAH KEGELAPAN
KITA SADAR BETAPA BERHARGANYA SEBERKAS CAHAYA

Setelah selesai membaca pesan itu, listrik langsung menyala kembali. Lucu banget. Betapa awut-awutannya mereka dalam posisi noraknya masing-masing. Mereka berteriak kegirangan. Tapi segera menyadari jika hari ini, Natin telah membawa mereka kepada pengalaman yang tak terlupakan. Mereka mendapatkan pelajaran berharga yang sedemikian kuatnya meresap kedalam jiwa.

Natin benar jika selama ini keberlimpahan menyebabkan kita lupa pada anugerah-anugerah kecil yang kita dapatkan. Betapa banyak keberuntungan yang kita peroleh. Namun karena kita terlalu sibuk dengan kenikmatan-kenikmatan yang besar, maka keberuntungan kecil sering kita abaikan. Padahal, tanpa keberuntungan kecil itu; kita tidak punya keberuntungan besar. Karena keberuntungan besar itu merupakan gabungan dari berbagai macam keberuntungan kecil yang kita dapatkan dalam hidup.

Jika kita punya uang sepuluh juta misalnya. Kita sering tidak menghargai beberapa koin uang seribu yang tercecer dilantai. Padahal tanpa koin ribuan itu, uang kita tidak genap sepuluh juta. Ketika kita menikmati suasana yang menyenangkan di tempat kerja. Kita sering lupa pada kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan oleh orang-orang disekitar kita. Padahal, tanpa kebaikan-kebaikan kecil dari teman-teman itu, kehidupan kerja kita tidak akan terasa nyaman.

Seperti berkas cahaya yang terpancar dari handphone itu. Baru terasa terangnya ketika kita tengah berada dalam kegelapan. Sewaktu kita bertabur cahaya? Kita menganggapnya tidak bermakna. Mungkin. Begitu juga halnya dengan kebaikan yang diberikan oleh perusahaan. Disaat kita sedang berada dalam keberlimpahan, kita menganggap kebaikan perusahaan itu terlampau kecil untuk dihargai. Kita sering merasa jika perusahaan tidak memperhatikan. Atau mendapatkan lebih banyak daripada apa yang dibayarkannya pada kita. Apapun yang dilakukan perusahaan, kurang kita hargai. Sebel banget kerja disini! Coba kita kehilangan pekerjaan itu? Baru terasa nilainya.

“Oooh, rupanya kalian disini ya…” tiba-tiba saja Pak Mergy keluar dari ruang kerjanya. “Syukurlah…” katanya.

“Lho, selama ini Bapak kemana aja…?” seru Opri setengah nggak percaya.
“Emngh.. s-saya… sembunyi di kolong meja….” Pak Mergy menjawab dengan polosnya.

Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…….

Tiba-tiba saja semua orang di kubikal menyadari bahwa keberlimpahan yang tidak disyukuri itu bisa menjebak orang untuk menyepelekan kebaikan-kebaikan kecil yang didapatkannya. Ketika merasa tidak butuh pada orang lain, kita memandang mereka sebelah mata. Ketika merasa diri sudah memiliki segala-galanya, kita menganggap orang lain tak berarti apa-apa.

Nggak hanya kepada sesama manusia kita menganggap begitu. Ketika kehidupan sudah beranjak semakin membaik, kita juga sering merasa jika semuanya itu adalah hasil jerih payah kita. Padahal, semua yang kita raih ini adalah gabungan dari kebaikan demi kebaikan kecil yang secara terus menerus Tuhan anugerahkan seiring dengan berjalannya waktu. Dan jika sekarang anugerah itu menjadi sedemikian besarnya. Maka itu bukanlah semata-mata hasil kerja kita sendiri. Ada jejak jasa teman-teman kita disana. Atasan. Bawahan. Atau kolega. Dan yang pasti, ada jejak tangan Tuhan disana. Jejak yang layak kita syukuri, setiap hari.

Catatan Kaki:
Sesekali kita perlu berada pada situasi sulit, agar bisa lebih memahami bahwa hidup kita dipenuhi dengan sederet kemudahan yang senantiasa Tuhan anugerahkan.

Leave a comment